PAHLAWAN - PAHLAWAN YANG TERLUPAKAN



Rudy Hartono, pasangan Susi Susanti-Alan Budikusuma (bulu tangkis), Samsul Anwar Harahap (tinju), Ade Rai (binaraga), serta Ronny Pattinasarani (sepak bola), hanya sekelumit nama yang sukses di kemudian hari setelah pensiun dari dunia olahraga. Namun, masih banyak nama eks atlet punya nama besar sebagai pahlawan olahraga, di kemudian hari harus berjuang menjadi pahlawan keluarga. Mereka berkutat dengan persolan klasik, ekonomi.

Sebagian besar mantan olahragawan Indonesia mengalami nasib yang hampir sama. Dipuja ketika berprestasi kemudian terlupakan atau dilupakan begitu saja setelah tidak lagi berprestasi. Tidak sedikit yang mengalami nasib naas, seperti Gurnam Singh.

Gurnam Singh

Gurnam Singh (lahir di Punjab, India pada 16 Agustus 1931) adalah mantan pelari Indonesia yang meraih tiga medali emas pada cabang lari pada Asian Games keempat di Jakarta pada tahun 1962, masing-masing pada nomor lari maraton, 5000 dan 10000 meter.

Keberhasilannya tersebut membuatnya diberikan hadiah berupa 20 ekor sapi, dua buah mobil, serta sebuah rumah di Gang Sawo, Medan. Setelah itu kehidupannya mulai tidak menentu; istrinya membawa pergi keenam anaknya pada tahun 1969. Kemudian pada tahun 1972, rumahnya digusur pemerintah daerah karena tidak mempunyai izin mendirikan bangunan (IMB).

Sejak saat itu ia hidup berpindah-pindah, dari satu kerabat ke kerabat lainnya. Terakhir, pada tahun 2003, ia tinggal di sekolah khusus keturunan India di Medan.


Martha Kase

Nasib buruk serupa juga dialami oleh mantan pelari Indonesia asal NTT, Martha Kase. Peraih medali emas SEA Games ini terpaksa menjual teh botol di pinggir Stadion Utama Gelora Bung Karno.


Ellyas Pical

Kasus yang masih hangat dalam benak kita, adalah ditangkapnya juara dunia tinju di era 1980-an Ellyas Pical. Petinju asal Ambon ini dijebloskan ke penjara karena kasus obat-obatan terlarang.


Hasan Lobubun - Atlet Nasional, Kini Jadi Pemulung


Banyak yang tak mengenal Hasan Lobubun, ia dulu merupakan seorang petinju hebat. Kini, setelah pensiun ia malah menjadi seorang pemulung.

Hasan Lobubun menjadi bintang ring tinju pada era tahun 80-an. Sepanjang kaiernya, Hasan pernah menyabet juara nasional kelas bantam junior pada tahun 1987. Kini, perjalanan hidupnya berubah drastis dengan menjadi seorang pengumpul barang-barang bekas.

Setelah beberapa tahun berkarier di ring tinju, kepopuleran Hasan tenggelam pada tahun 1990-an. Beruntung setelah pensiun, promotor Tourino Tidar mau menampungnya.

"Saya memang pernah tinggal di rumah pak Tourino. Tapi, saya sudah tidak di sana lagi karena sasana Tidar tidak aktif." papar Hasan seperti dilansir Bataviase.co.id, Rabu (11/8/2010), ketika bertemu di Jalan Raya Cideng, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.

Pada saat jayanya. Hasan sangat mudah ditemui di setiap pertandingan tinju profesional. Namun setelah hampir sekitar 15 tahun, sosoknya sulit ditemukan. Hasan kini telah beralih profesi sebagai seorang pemulung.

"Saya bekerja seperti ini karena tidak ada lagi pekerjaan. Ini demi menyambung hidup apalagi saya tidak punya saudara di Jakarta." tutur pria asal Ambon itu.

Di masa keemasannya, Hasan mendapat honor cukup lumayan dari olahraga adu jotos itu. Ia sempat membangun rumah tangga dan punya dua anak dari hasil perkawinannya. Setelah tidak punya penghasilan, ia bercerai. Kedua anaknya diboyong istrinya yang kini sudah berumah tangga lagi. "Saya sudah lama menduda dan kedua anak saya ikut dengan istri." paparnya.

Hasan menuturkan kehidupan pahitnya yang sudah hampir 7 tahun tidak bertemu dengan kedua anaknya. Berbagai pekerjaan sudah di lakoninya. Bahkan, ia pernah menjadi tukang parkir di Jalan Taman Tanah Abang II dekat kediaman Tourino Tidar.

"Bukan saya tidak mau bertemu, tapi saya tidak sanggup menemui mereka karena tidak punya uang. Biarlah perasaan rindu kepada mereka saya pendam di dalam hati. Kelak, kalau saya sudah punya uang saya pasti menemui mereka." ungkapnya.

Setiap hari Hasan bekerja mulai pukul 10.00 WIB hingga 18.00 WIB untuk mencari kardus, barang rongsokan dan botol-botol minuman mineral di daerah sekitar Tanah Abang. Penghasilan yang diperolehnya pun tidak seberapa.

"Maksimal saya hanya bisa mengumpulkan barang bekas senllal 20 ribu, dan terkadang di bawah Itu karena banyak saingan. Saya menjualnya ke Jembatan Lima tempat penampungan." jawab pria lulusan Sekolah Dasar yang berharap pemerintah mau memberikan perhatian dan bantuan kepadanya.

Jumantoro

Sea Games XV di Malaysia tahun 1989, Jumantoro menyumbang satu medali emas dari cabang olahraga judo, sebuah prestasi membangggakan. Saat itu, ia telah berkarier sebagai polisi. Kini olahragawan yang mengharumkan nama bangsa itu meringkuk di tahanan Direktorat Narkoba Polda Metro Jaya, akibat terjerat kasus narkoba (Surya, 4/5). Ironis, jika menilik statusnya sebagai Kapolsek Cisarua Bogor dan keperkasaannya sebagai pejudo terbaik nasional, gelar yang ia dapat pada1992.

Nanda Telaumbanua

Nanda Telaumbanua, yang mahir mengangkat barbel seberat lima kali berat badannya, setelah masa emasnya usai harus menghidupi keluarga sebagai penarik ojek. Ironis

Yunus Mulder

Di usianya yang tak lagi muda, Yunus Mulder (82), masih giat berlari maraton keliling kota setiap pagi. Tak disangka, ternyata ia pernah mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional.

Hidup dengan kondisi ekonomi pas-pasan tidak membuatnya gundah. Pria kelahiran 2 Mei 1926 itu kini diurus oleh anak bungsunya Frida Mulder yang suaminya berprofesi serabutan. "Bisa makan dan punya tempat bernaung saja sudah cukup bagi saya", katanya dengan suara pelan.

Mulder, adalah seorang atlet keturunan Belanda, setelah Indonesia merdeka, memilih menetap di Indonesia. Akhirnya ia bertemu Paulina Sigarlaki di Makasar yang dipersunting sebagai istrinya. Mereka dikaruniai tiga orang anak. Sekitar tahun 60-an ia dan keluarganya berlabuh ke Manado.

Sejak tahun 40-an ia mengaku telah banyak mengikuti lomba atletik. Buktinya beberapa medali dan tropi yang masih disimpan rapi. Opa yang tergabung dalam Persatuan Atlet Veteran Indonesia (PAVI) itu masih menyimpan medali dan piala yang pernah diperolehnya sebagai juara I perseorangan diatas 45 tahun putra lomba Maya Gita Ten Walk 1994, juara I 1954 maraton pekan olah raga ADTT VII sebanyak 5 kali, kemudian juara I kelompok umur 60-64 tahun 1500 meter putera Kejurnas di Jabar.

"Ini medali dan piala yang tersisa, hanya prestasi saya saat sudah tua, masih banyak prestasi lain baik nasional maupun internasional waktu saya muda, namun medali dan pialanya sudah dijual buat makan", ujar orang tua yang mulai pikun ini. Ia mengaku kalau di tahun 40-an ia pernah mengharumkan bangsa Indonesia saat menjuarai lomba lari 5 dan 10 km, juga 200 meter putera yang dilaksanakan di Belanda. Menurut Frida, putrinya, Mulder menjadi sahabat baik Bung Karno dimasa itu dan tiap kali Bung Karno ke Manado pasti mencarinya.

Hari-harinya kini hanya dilalui dengan melamun, tiap pukul 05.00 pagi ia bangun dan langsung bersih-bersih halaman. Tidak jarang yang ia bersihkan bukan hanya halaman rumahnya, tapi juga sepanjang jalan lingkungannya. Pukul 06.00 ia langsung lari, memutari kota Manado. Itulah sebabnya kendati sudah uzur, tubuhnya masih kelihatan bugar.
Saat ini ia sedang digerogoti oleh penyakit hernia yang telah lama dideritanya. Beberapa tahun silam dokter mengharuskannya untuk operasi. Namun, karena mahalnya biaya yang mencapai Rp 8 juta membuat ia mengurungkan niatnya. Berlari dan banyak minum air putih menjadi obat mujarab penyakitnya hingga saat ini.

Foto orang tua dan isterinya di sudut rumah selalu ditatapnya. Kenangan indah bersama mereka ia sandingkan dengan piala dan medali yang diletakkan berdekatan.

Ironis memang! Kehidupan pensiunan perhubungan militer 1973 itu begitu cinta dengan Indonesia. Saking cintanya, hingga kini ia masih terus memakai seragam atlitnya bertuliskan Indonesia di bagian punggung setiap kali ia berlari. "Saya memang keturunan Belanda, tapi saya cinta Indonesia. Saya hidup dari tanah Indonesia, jiwa dan raga kan saya korbankan demi negeri ini", ujarnya sambil menitikkan air mata.


Tati Sumirah

Bangunan rumah di Kawasan Waru Indah, Klender, Jakarta Timur, disinilah, Tati Sumirah, pemilik tubuh tegap dan berambut cepak, tinggal bersama ibu dan adik bungsunya. Bagi penggemar olahraga bulutangkis era 70-an, tentu tak asing dengan sosoknya, dia adalah salah satu pemain bulutangkis handal yang kerap mendapat teriakan-teriakan penonton ketika berhasil mencetak angka. Wartawan pun kerap mengabadikan aksinya saat bermain di lapangan, namun selama periode 80-an, hingga saat ini, namanya tak terdengar lagi.
Memang sekitar tahun 82, Tati Sumirah, meninggalkan dunia bulutangkis karena seleksi alam, pemain-pemain muda tampil cemerlang, sementara prestasinya justru menurun. Tati yang dikenal lewat lob dan drop-shotnya yang handal, beberapa kali membukukan prestasi gemilang di kejuaraan nasional maupun internasional. Diantaranya, pada Asean Games 74, ia mengalahkan pemain Jepang, Etsuko Takenaka yang pernah menjadi juara All England.

Tahun 75 saat perebutan piala Uber Cup, ia berhasil melumpuhkan lawannya, Margaret Beck. Keberhasilannya ini sekaligus menorehkan tinta emas bagi tim bulutangkis putri Indonesia, yang untuk pertama kalinya memboyong Uer Cup. Selama berkarir di dunia bulutangkis, anak sulung dari 6 bersaudara ini, total mengabdikan diri pada negara.
Tati tak pernah menyesal pada pilihannya untuk bergabung di pelatnas. Begitu pula ketika mengundurkan diri sebagai pemain bulutangkis. Saat berusia 27 tahun, ia telah siap menghadapi masa depan yang tak pasti, mengingat ia tak punya ketrampilan kerja lain ataupun ijasah. Atas kebaikan budi seorang penggemar bulutangkis yang juga pengusaha apotek, Tati direkrut sebagai kasir di sebuah apotek di kawasan Pondok Kelapa, Jakarta Timur.
Karena jenuh, pekerjaan yang telah dilakoni lebih dari 21 tahun itu, awal 2005 ini telah ia tinggalkan pula. Tati yang masih melajang ini, tak menyesal dengan keputusannya mundur dari pekerjaan. Kini ia lebih sering menghabiskan hari-harinya dirumah atau mengendarai motor vespa, yang keduanya ia beli dari uang hasil bermain bulutangkis.

Rudi Siregar

Pasang surut perjalanan hidup, juga dialami Rudi Siregar, mantan atlit nasional tinju kelas menengah. Pria yang genap berusia 60 tahun, kelahiran Johor Baru Malaysia, kini terbaring tak berdaya.

Sebulan lebih ia dirawat di rumah sakit akibat penyakit jantung dan komplikasi yang dideritanya. Tengku Jauhari Pahlawan Siregar, tak cukup biaya untuk perawatan dirinya, padahal jika ditengok ke belakang, tak sedikit prestasi yang diukirnya.
Ia mengawali karir tinjunya di Kota Medan, dalam usia masih relatif muda, 14 tahun. Saat menjadi petinju amatir, antara tahun 57 hingga medio 70-an, beberapa kali ia menjadi juara arena PORDA dan PON. Dalam karir profesionalnya, ia pernah menjadi juara Sea Games, dan terakhir, tahun 87, ia menjadi juara 2 Sea Games, begitu mundur dari hingar bingar ring tinju di tahun yang sama, 1987, hidupnya tak tentu.

Setelah diusir dari perkampungan atlit Senayan tahun 91, ia pindah ke Bogor menjadi pelatih di Pertina Bogor, dan berhasil mengantar Bogor sebagai juara umum Porda Jawa Barat. Tahun 94, setelah dikecewakan Pertina, ia kembali ke kampung halaman di Siporok, Medan, mendirikan sasana tinju dan sempat praktek pengobatan supranatural.
Tahun 2000, ia memutuskan kembali ke Bogor dengan mengontrak rumah, tak ada pekerjaan pasti, ia hanya membantu istrinya berjualan nasi.

Saat kesulitan ekonomi inilah, Rudi Siregar, mengalami kekecewaan berat atas sikap pemerintah yang tak mau tahu dengan perkembangan olah raga dan masa depan atlit di Indonesia. Medali-medali yang ia miliki, ia jual, namun karena tak laku, diberikannya kepada orang lain.
Rudi Siregar, kini terbaring lemah dengan selang infus di tubuhnya. Untuk membiayai pengobatannya, ia hanya bisa berharap pada mereka yang peduli.

Muhammad Sanusi

Penggusuran, kata yang bisa membuat bulu kuduk merinding. Ancaman penggusuran ini pula yang membuat Muhammad Sanusi, merasa khawatir. Pasalnya, ia tak tahu lagi harus pindah kontrakan kemana. Sebagai mantan atlit balap sepeda dengan prestasi mendunia, hidupnya sungguh memprihatinkan
.
Kondisi rumah kontrakan yang ia huni sejak tahun 90 di kompleks Kodam Satu, Bukit Barisan, Medan, cermin kehidupannya sehari-hari, belum lama ini terdengar kabar, rumah di kawasan tersebut akan digusur, menambah kepedihan.

Sisa-sisa ketegapan tubuh sebagai seorang atlit, masih terlihat jelas pada sosok Sanusi, yang kini berusia 73 tahun. Sanusi terpaksa putus sekolah saat di bangku SLTP karena orang tuanya tak mampu membiayainya lagi. Sejak itulah ia memutuskan menjadi atlit balap sepeda. Awal prestasinya di balap sepeda bermula pada tahun 1952 saat dilakukan seleksi pembalap untuk menghadapi PON ke-3 di Medan, dan Sanusilah yang menjadi juara pertama berturut-turut, kejuaraan balap sepeda pada PON ke-3 hingga PON ke-7.

Antara tahun 1956 sampai tahun 1964, predikat sebagai juara pertama juga melekat pada dirinya saat mengikuti sejumlah perlombaan balap sepeda di forum internasional. Diantaranya yang diadakan di Kuala Lumpur, Thailand, Yunani, Jepang, Maroko, Pakistan hingga berbagai perlombaan di berbagai negara Eropa. Semua bukti prestasinya itu, sampai saat ini masih ia koleksi di rumah kontrakannya.
Masa lalunya yang gemilang itu, baginya kini hanya sebatas kenangan. Sederet prestasi itu tak ada artinya bagi kehidupannya. Ibarat pepatah, habis manis sepah dibuang, ia merasa kesal, pemerintah tak pernah memperhatikan nasib para atlit yang pernah membesarkan nama bangsa.

Setelah meninggalkan ajang balap sepeda, Sanusi bekerja sebagai pengayuh becak. Pemerintah Kota Medan kemudian merekrutnya sebagai petugas pengantar surat dan koran ke kantor-kantor dinas Pemkot Medan. Ia bergaji sekitar 250 ribu rupiah sebulan. Untuk menutupi biaya hidup, istrinya, Irma alias Mami, yang juga atlit balap sepeda, turut bekerja di kantor perwakilan sebuah maskapai penerbangan Malaysia. Gaji yg diterimanya sama, 250 ribu rupiah sebuah.

Terlihat nyata, mereka hidup serba pas-pasan di kota besar. Meski ia telah letih menjalani kehidupan seperti ini, namun tuntutan hidup tak bisa ditampiknya. Dan setiap pagi, Sanusi yang kini berusia 73 tahun, akan terus mengayuh sepedanya sejauh 60 kilometer, sembari menebar harap dihembusan angin Kota Medan, suatu hari kelak ada perubahan dan semoga ia masih sempat menikmatinya di sisa umurnya yang telah beranjak senja.

Syaiful Nazar

Inilah keseharian Syaiful Nazar. Melakukan gerakan-gerakan pemanasan, untuk mengawali aktivitasnya. Rutinitas ini ia lakukan diteras rumah semenjak berhenti sebagai atlit senam. Sisa-sisa ketegapan tubuhnya masih terlihat jelas.

Pria kelahiran Salido, Pesisir Selatan, Sumatera Barat, 44 tahun lalu, semasa masih aktif sebagai pesenam, pernah berkecimpung di dunia layar lebar, antara tahun 1982 hingga 1989. Film-film yang dibintanginya antara lain Pendekar Cabe Rawit sebagai pemeran utama, Mandala Siluman Sungai Ular, Pendekar Tapak Sakti, Pedang Wulung, Jaka Tingkir, dan sejumlah film lain sebagai figuran.

Pria yang pernah mengenyam pendidikan tinggi di FPOK IKIP Jakarta, tercatat punya segudang prestasi. Ditingkat nasional, dalam kejuaraan PON berturut-turut pada PON 9, 10, dan 11, berhasil mempersembahkan medali emas. Dan sebagai salah satu atlit senam yang memperkuat Sea Games, Syaiful Nazar, berhasil mempersembahkan sejumlah medali emas, perak dan perunggu dalam kurun waktu tahun 1979 sampai 1985.
Atas semua prestasinya itu, Gubernur Sumatera Barat waktu itu, menghadiahkan tanah dan bangunan di kecamatan Kuranji, Padang, yang kini ditempati saudara sepupunya.

Kiprahnya di layar lebar dan prestasinya di cabang olah raga senam, semakin mengibarkan namanya. Tahun 1984, ia kemudian diangkat sebagai pns, ditempatkan dikantor perwakilan Pemda Sumatera Barat di Jakarta. Lima tahun kemudian, dipindahkan ke Padang. Dan tahun 2002, dengan alasan tidak pernah masuk kantor, Syaiful Nazar akhirnya dipecat sebagai PNS.

Semenjak tak lagi menjadi PNS, hidupnya makin tak tentu. Setiap hari dengan mengendarai sepeda mininya, ia menuju gedung bela diri KONI, Sumatera Barat. Kini ia bekerja sebagai tukang sapu. Syaiful Nazar, duda dengan anak satu, hidup menumpang di rumah orang tuanya. Menempati sebuah kamar yang jendelanya ditutup rapat dengan tripleks, sebagai tanda berduka atas nasibnya yang merana.(Idh)

kilas-artikel.blogspot.com



This about Us Clik here : PENTING …!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

YASIN PREMIUM HARD COVER RCP CANTIK

BUKU YASIN HARD COVER IMITASI BUSA

YASIN PREMIUM HARD COVER MEWAH